NGOPILOTONG.COM,  -  Burasa, lontong santan berbentuk pipih khas Sulawesi Selatan, bukan sekadar hidangan lezat. Di balik kelembutan teksturnya dan aroma harum daun pisangnya, tersimpan makna filosofis yang mendalam bagi masyarakat Bugis-Makassar.


Sejarah Lahirnya Burasa

Dahulu kala, para lelaki Bugis dan Makassar terkenal sebagai pelaut ulung dan perantau handal. Mereka berlayar ke berbagai penjuru nusantara untuk mencari rezeki, termasuk uang panai. Bekal yang mereka bawa berupa nasi dan ikan, namun bekal tersebut tidak tahan lama dan mudah basi. Hal ini membuat mereka kehabisan tenaga sebelum mencapai tujuan.


Melihat kesulitan para lelaki mereka, para wanita di tanah Bugis-Makassar mencari solusi. Mereka mulai mengolah beras ketan yang dibungkus daun pisang dan direbus lama agar tidak mudah basi. Lahirlah Burasa, makanan yang menjadi bekal para perantau dalam perjalanan panjang mereka.


Filosofi di Balik Burasa

Lebih dari sekadar bekal, Burasa mengandung makna filosofis yang erat kaitannya dengan nilai-nilai luhur masyarakat Bugis-Makassar. Proses pembuatan Burasa yang dilakukan secara bersama-sama melambangkan penyatuan dan solidaritas. Tradisi ini menumbuhkan nilai-nilai "sipakatau" (saling menghargai), "sipakalebbi'" (saling memuliakan), dan "sipakainge'" (saling mengingatkan) dalam keluarga dan kehidupan sosial.


Tradisi Ma' Burasa dan Massio' Burasa

Bagi masyarakat Bugis-Makassar, membuat Burasa sudah menjadi tradisi turun-temurun, terutama menjelang Hari Raya Idul Fitri. Tradisi ini dikenal dengan sebutan "Ma' Burasa", di mana keluarga dan tetangga berkumpul bersama untuk memasak Burasa beramai-ramai. Burasa kemudian disajikan kepada tamu saat Hari Raya.


Proses mengikat Burasa pun memiliki seni dan membutuhkan keterampilan khusus, yang disebut "Massio' Burasa". Tali pada ikatan Burasa melambangkan tali silaturahmi yang diperkuat menjelang Idul Fitri. Tali itu juga menjadi simbol ikatan batin antara perantau dan keluarganya. Oleh karena itu, ikatan Burasa harus dibuat kuat dan kokoh.


Pesan Moral dari Burasa

Pesan moral yang terkandung dalam Burasa dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

"Setinggi apa pun sekolahmu, pulanglah mengikat Burasa": Sejauh apa pun kita melangkah dan meraih kesuksesan, jangan pernah lupakan keluarga dan adat budaya di kampung halaman.

"Sejak kecil dulu tali Burasa telah mengikat hati, tersimpul mati, wujudkan jiwa petarung sejati demi bakti untuk orangtua yang tak terganti": Tali Burasa yang diikat kuat melambangkan ikatan kasih sayang yang tak terputus antara anak dan orang tua. Burasa menjadi pengingat bagi kita untuk selalu berbakti kepada orang tua.


Burasa: Warisan Budaya yang Tak Ternilai

Burasa bukan hanya hidangan lezat, tetapi juga warisan budaya tak ternilai bagi masyarakat Bugis-Makassar. Makna filosofi dan tradisi yang terkandung di dalamnya menjadi pengingat akan pentingnya persatuan, solidaritas, dan nilai-nilai luhur yang diwariskan leluhur. Melestarikan tradisi Burasa berarti menjaga identitas dan kekayaan budaya Sulawesi Selatan.


Burasa: Simbol Persatuan, Solidaritas, dan Tradisi yang Menyatukan

Di tengah gempuran modernisasi, Burasa tetaplah hidangan istimewa yang digemari dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Bugis-Makassar. Burasa menjadi simbol persatuan, solidaritas, dan tradisi yang menyatukan keluarga dan komunitas. Menyantap Burasa bukan hanya menikmati kelezatan rasa, tetapi juga melestarikan warisan budaya yang sarat makna.




Editor     :  Ahmad Firdaus





Klasemen Piala Eropa 2024, Selengkapnya

Jadwal Piala Eropa 2024, Selengkapnya

Baca Artikel Lainnya di GOOGLE NEWS

Support   : SOCIABUZZ  SAWERIA