NGOPILOTONG.COM, - Pada tahun 1538 di Somba Opu, Sulawesi Selatan, Kerajaan Gowa sedang aktif memperluas wilayah kekuasaannya. Sang Raja, yang ingin memberikan tambahan semangat kepada para prajuritnya, memutuskan untuk menyediakan makanan yang istimewa. Untuk tujuan ini, ia memanggil seorang ahli juru masak bernama Daeng Toak dari Kerajaan Bajeng, yang pada waktu itu bermukim di Bantaeng dan kemudian berpindah ke Jeneponto dan Takalar.
Awalnya, Daeng Toak kebingungan tentang hidangan apa yang harus disajikan. Namun, ketika melihat banyaknya sisa jeroan sapi yang tidak terpakai, ia mendapatkan ide cemerlang. Ia memutuskan untuk meramu jeroan sapi dengan menggunakan empat puluh jenis rempah tradisional yang dikenal dengan istilah "Rampa Patang Pulo". Campuran ini kemudian dimasak secara khusus dalam wadah kuali tanah, atau "Uring Butta".
Hasil olahan Daeng Toak tersebut menjadi hidangan baru yang kemudian dikenal sebagai Coto Mangkasara atau Coto Makassar. Hidangan ini dihidangkan kepada para prajurit Kerajaan Gowa yang bertugas di pagi hari. Karena kelezatannya, Coto Makassar segera menjadi makanan istimewa di Kerajaan dan sering disajikan untuk tamu-tamu bangsawan yang berkunjung ke istana. Bagian daging sapi yang disajikan dalam coto pun disesuaikan dengan tingkatan kasta, di mana jeroan disajikan untuk prajurit, sementara daging sirloin dan tenderloin disajikan untuk keluarga kerajaan.
Coto Makassar pertama kali dibuat di desa Paddinging, Kabupaten Takalar pada abad ke-16. Pada masa itu, jeroan sapi yang diolah menjadi coto disantap oleh para prajurit istana, sedangkan bagian daging sapi terbaik disantap oleh keluarga kerajaan Gowa.
Sebagai hidangan kuah tertua di Indonesia, Coto Makassar tidak hanya menjadi simbol kuliner bagi Sulawesi Selatan tetapi juga menginspirasi terbentuknya berbagai jenis soto di seluruh Nusantara. Ini terutama terjadi karena pengaruh pelaut Makassar yang menyebarkan resep ini melalui jalur perdagangan ke tanah Jawa.
Pada tahun 2015, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan resmi menetapkan Coto Makassar sebagai warisan budaya tak benda di bidang kuliner. Bagi rakyat Sulawesi Selatan yang dikenal pekerja keras, semangkuk coto tidak hanya mengobati rasa lelah tetapi juga menjadi lambang rasa syukur dan kesempurnaan etos kerja.
Coto Makassar kini bukan hanya hidangan lezat, tetapi juga cerminan sejarah dan budaya yang kaya dari Sulawesi Selatan. Hidangan ini terus dinikmati dan dihargai, baik oleh masyarakat setempat maupun oleh para penikmat kuliner dari berbagai penjuru dunia.
Editor : Ahmad Firdaus
Klasemen Piala Eropa 2024, Selengkapnya
Jadwal Piala Eropa 2024, Selengkapnya
0Komentar